Sunday, July 17, 2016

Pentingnya Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Pentingnya Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan ciri utama masyarakat orang-orang yang beriman; setiap kali al-Qur'an memaparkan ayat yang berisi sifat-sifat orang-orang beriman yang benar, dan menjelaskan risalahnya dalam kehidupan ini, kecuali ada perintah yang jelas, atau anjuran dan dorongan bagi orang-orang beriman untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka tidak heran jika masyarakat muslim menjadi masyarakat yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran; karena kebaikan negara dan rakyat tidak sempurna kecuali dengannya.

Al-Qur'an al karim telah menjadikan rahasia kebaikan yang menjadikan umat Islam istimewa adalah karena ia mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)

Ayat ini mengedepankan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran atas iman, padahal iman merupakan dasar bagi setiap amal shalih, sebagai isyarat tentang pentingnya mengajak kepada kebaikan dan  mencegah kepada kemungkaran, dimana umat Islam dikenal dengannya, bahkan ia merupakan ciri utama yang membedakannya dari umat-umat lain, dan dilahirkan bagi umat manusia untuk melaksanakan kewajiban mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Sesungguhnya Allah yang maha tinggi dan maha kuasa mengingatkan umat Islam agar tidak lupa pada tugas utamanya dalam kehidupan ini, atau bermalas-malasan dalam melaksanakannya, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104)

Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan mahkota bagi sifat-sifat orangorang beriman dalam masyarakat muslim, yaitu orang-orang yang menjual diri mereka kepada Allah, mereka memberikan nyawa dan harta mereka dengan murah di jalan Allah: Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. (QS. at Taubah: 112)

Sifat ini yang merupakan sifat masyarakat muslim baik laki-laki maupun wanita dipertegas lagi bahwa amar ma'ruf nahi mungkar merupakan tugas kedua jenis, dan ia didahulukan atas shalat dan zakat, sebagai isyarat tentang fadhilahnya, dan mengagungkan kedudukannya dalam masyarakat muslim yang lurus: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. at Taubah: 71)

Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban terpenting bagi masyarakat muslim Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban terpenting dalam masyarakat muslim, selain shalat dan zakat, terutama di waktu umat Islam berkuasa di muka bumi, dan menang atas musuh, bahkan kemenangan tidak datang dari Allah, kecuali bagi orang-orang yang tahu bahwa mereka termasuk orang-orang yang melakukannya: Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. al Hajj: 40, 41)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh bukhari, Rasulullah menggambarkan masyarakat yang amar ma'ruf dan nahi mungkar, dan masyarakat tidak melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, dengan para penumpang kapal yang mengundi tempat di kapal, sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian mendapat tempat di bawah, orang-orang yang bertempat di bawah apabila ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang ada di bagian atas, maka mereka berkata: kalau saja kita melubangi kapal agar tidak mengganggu orang di atas. Jika mereka membiarkan kemauan mereka, maka akan binasa semua, dan jika mereka dihalangi maka semuanya akan selamat.

Ini adalah gambaran yang indah bagi pengaruh amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam masyarakat, dari hadits tersebut jelas bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar bisa menyelamatkan orang-orang lalai dan orang-orang ahli maksiat dan juga orang lain yang taat dan istiqamah, dan bahwa sikap diam atau tidak peduli terhadap amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan suatu bahaya dan kehancuran, ini tidak hanya mengenai orang-orang yang bersalah saja, akan tetapi mencakup semuanya, yang baik dan yang buruk,  yang taat dan yang jahat, yang takwa dan yang fasik. Amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan hak dan kewajiban rakyat Dalam masyarakat muslim amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan hak dan juga kewajiban bagi mereka, ia merupakan salah satu prinsip politik dan sosial, al-Qur'an dan hadits nabi telah menjelaskan hal itu dan memerintah orang untuk memberikan nasihat atau kritik bagi pemangku kekuasaan dalam masyarakat, dan minta penjelasan hal-hal yang menjadi kemaslahatan rakyat, atau mengingkari hal-hal yang tidak menjadi maslahat bagi rakyat.

Tolok ukur kebaikan dan kemungkaran adalah syari'at dalam satu sisi, dan kemaslahatan rakyat dari sisi lain. Ini merupakan persoalan yang luas dari tuntutan rakyat pada penguasa, khususnya dalam mencegah kezaliman, tidak menerimanya atau bersabar atasnya. Al-Qur'an telah menganggap terjadinya kezaliman dari penguasa, dan diamnya rakyat atas kezaliman tersebut merupakan suatu dosa besar dari kedua belah pihak, yang bisa mengakibatkan turunnya siksa di dunia, dan juga di akhirat kelak. Allah berfirman: Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS. Ibrahim: 42)

Dan berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk tempat kembali. (QS. an Nisaa': 97)

Rasulullah memperingatkan orang-orang hina dan lemah yang bersikap diam atas kezaliman dan tidak mencegah orang yang zalim dengan siksa Allah yang akan mengenai mereka semua, tidak ada di antara mereka yang luput: «Sesungguhnya apabila manusia melihat orang zalim dan mereka tidak mencgahnya dari kezaliman, maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka semua» (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa'i)

Cara-cara memberikan nasihat
Di antara cara-cara amar ma'ruf dan nahi mungkar adalah nasihat, Rasulullah telah menjadikannya sebagai agama dalam sabdanya: «Agama adalah nasihat, kami berkata: bagi siapa? Beliau berkata: "bagi Allah, bagi kitab Allah, bagi rasulnya, dan bagi para pemimpin dan umat Islam secara umum» (HR. Muslim)

Tidak diragukan lagi bahwa pemberian nasihat kepada para penguasa dari rakyat, terutama para ulama dan orang-orang yang berpengalaman, masing-masing dalam bidagnya merupakan suatu hal yang baik sekali, ini akan menjamin keselamatan, keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat, hal ini telah berjalan di kalangan umat Islam di masa keemasannya, oleh karena itu dalam beberapa hadits ada anjuran bagi penguasa untuk mengangkat orang-orang shalih dan jujur serta ikhlas memberikan nasihat menjadi pendampingnya, yang tidak munafik dan tidak menipu penguasa.

Pertanyaan umat Islam kepada para penguasa
Pertanyaan umat Islam terhadap penguasa mereka terus berjalan, dan pertanyaat tersebut merupakan hal yang biasa bagi rakyat, pengawasan terhadap pemerintah dan kebebasan menyampaikan pendapat kepada penguasa baik berkaitan dengan harta maupun politik merupakan prinsipprinsip dasar konstitusi yang diakui, karena ayat-ayat al-Qur'an dan haditshadits nabi telah menegaskannya, sebagaimana juga ia telah menjadi tradisi politik yang belaku pada masa dahulu, dan secara teori hal ini masih tetap diterima di kalangan umat Islam secara umum dan khusus, akan tetapi praktiknya menjadi lemah apabila yang menjadi penguasa adadalah orangorang zalim, dan ia akan kembali lagi diterapkan jika yang naik ke pucuk pimpinan adalah orang yang adil dan baik.

Adapun para ulama, mereka tidak mengabaikan prinsip ini, banyak dari mereka yang mengalami tekanan dan siksaan, sebagaimana yang terjadi pada Said bin Jubair, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dan lain-lain di beberapa masa dan beberapa negara. Akibat buruk bagi diabaikannya amar ma'ruf dan nahi mungkar Musibah paling buruk yang menimpa suatu umat dan masyarakat adalah berkuasanya diktator, mulut dikekang, lisan dipasung, dan pena dipatahkan, sehingga tidak ada yang berani bersuara, atau menulis kata-kata untuk mengungkapkan kebenaran yang disia-siakan, atau keinginan yang dikekang, atau nasihat yang tulus. Dengan demikian kehidupan menjadi buruk, hidup menjadi susah, sumber-sumber kebaikan menjadi kering, duriduri kejahatan dan kerusakan tumbuh, kenistaan merajalela, dan tidak ada yang bisa menghentikan, serta harga diri manusia diinjak-injak. Apabila keburukan sampai ke batas ini, maka semua anggota masyarakat wajib bergerak untuk memperbaikinya dan menyingkirkan kerusakan, jika tidak melakukanya, maka mereka berhak mendapat balasan dan siksa dari Allah, dan Allah telah menurunkan bencana dan kerusakan kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran dan yang mendiamkannya: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orangorang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. al Anfal: 25)

Dan Rasulullah bersabda: «Sesungguhnya apabila manusia melihat orang zalim dan mereka tidak mencegah kezalimannya, Allah akan menurunkan siksa kepada mereka semua» (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa'i)
Nabi juga bersabda: «Jika engkau melihat umatku takut, sehingga tidak berani mengatakan kepada orang zalim: wahai orang zalim, maka mereka tidak berarti lagi» (HR. Ahmad, al Hakim dan al Bazzar)

Allah telah melaknat bani israil, mempertentangkan antara hati mereka dan menurunkan siksa yang pedih kepada mereka, tatkala kemungkaran merajalela di antara mereka, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang bangkit untuk mencegahnya, itulah firman Allah : Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al Maidah: 78, 79)

Terkadang kemungkaran merajalela di masyarakat, orang-orang sudah terbiasa dan akrab, dan tidak ada lagi yang berbicara, sehingga ia meracuni perasaan mereka, dan mereka tidak lagi merasa bahwa ia merusak agama, akhlak dan adapt yang mulia, mereka tidak lagi bisa membedakan antara yang ma'ruf dan yang mungkar, antara yang baik dan buruk, halal dan haram, ketika itu pemahaman masyarakat berubah, dan ukuran kebenaran sudah tidak jelas, sehingga kejujuran, amanat, beragama dipandang sebagai keterbelakangan dan kebodohan, sementara dusta, khianat, dan jauh dari agama dipandang sebagai kemajuan, yang baik mereka katakana mungkar dan yang mungkar dikatakan baik. Ini diperburuk lagi ketika di masyarakat banyak orang-orang munafik, yang mempengaruhi penguasa yang zalim, mereka berkumpul di sekitar penguasa, membisiki penguasa untuk melakukan kebatilan dan menyembunyikan kebenaran, suara-suara mereka mengajak kepada kebatilan, mencegah kebaikan, menciptakan sifat masyarakat munafik yang akan ditempatkan oleh di dasar neraka paling bawah: Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya.  mereka Telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. at Taubah: 67)

Ini sangat bertentangan dengan masyarakat beriman: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. at Taubah: 71)

Inilah masyarakat muslim yang penuh dengan para da'I kepada Allah, yang mengerti agamanya, yang menjaga syari'atnya, suara kebenaran tidak pernah padam, melaksanakan amar ma'ruf dan nahi mungkar, walaupun kegelapan meliputi mereka, dan suara-suara kebatilan membahana. Tidak diragukan bahwasanya suara-suara mereka yang keras dalam membela kebenaran akan menebarkan kesadaran di masyarakat muslim,  membangkitkan rasa izzah dengan agama Allah, dan membuat opini umum yang disinari oleh petunjuk Allah dan rasulnya. Wajibnya mengingkari kemungkaran walaupun dengan hati Banyak sekali nash-nash al-Qur'an dan hadits yang menunjukkan wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam masyarakat muslim, yang mengakui kedaulatan Allah, yang melaksanakan syari'atnya, walaupun terkadang ada penguasa yang zalim, dan terkadang banyak kerusakan, sehingga dengan demikian masyarakat muslim benar-benar menjadi masyarakat yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar . Adapun jika masyarakat diuji dengan disingkirkannya syari'at Islam dari kekausaan, dan umat Islam dipaksa menerapkan hukum buatan manusia, maka dalam kondisi ini harus menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar yang paling besar, yaitu mengakui kedaulatan Allah, hukumnya dan syari'atnya dalam kehidupan, dan mencegah kemungkaran terbesar, yaitu menolak ketuhanan Allah dengan menolak syari'atnya dalam kehidupan. Rasulullah bersabda: «Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jka tidak mampu maka dengan hatinya, dan inilah selemah-lemahnya iman» (HR. Muslim)

Akan tetapi terkadang datang suatu masa kepada umat Islam dimana umat Islam tidak bisa mengubah kemungkaran dengan tangannya, dan tidak bisa mengubahnya dengan lisannya, maka tidak ada lagi cara kecuali mengubah dengan hatinya, dan ini tidak ada orang yang bisa menghalangi. Mengubah kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemahnya iman, sebagaimana disebutkan dalam hadits, terkadang sekilas orang melihatnya sebagai amal yang pasif, dimana hal ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan atau dengan lisan.

Sebenarnya seorang muslim yang jujur yang tidak ada jalan di hadapannya kecuali mengingkari dengan hati, tidak hilang dari pikirannya  bahwa mengingkari dengan hati berarti merubahnya, sebagaimana dikatakan demikian oleh Rasulullah . Perkataan Rasulullah ini menunjukkan bahwa hal itu adalah suatu perbuatan positif; karena mengingkari kemungkaran dengan hati berarti mempertahankan hati dari sikapnya terhadap kemungkaran… ia mengingkarinya, membencinya, tidak menyarah kepadanya, dan tidak menerimanya bahwa itu adalah suatu yang harus dipatuhi dan diakui.

Mengingkari dengan hati terhadap suatu kondisi adalah kekuatan positif, dan merupakan langkah awal untuk menghancurkan kemungkaran ini, dan menegakkan kebaikan kapan ada kesempatan, dan mengintai kemungkaran hingga ada kesempatan untuk merubahnya. Dan ini jelas merupakan perbuatan positif dalam jalan menuju perubahan. Memang benar bahwa ini adalah iman yang paling lemah, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah , akan tetapi kalau memang hanya iman paling lemah yang memungkinkan, maka paling tidak seorang muslim memelihara iman yang lemah ini. Adapun kehilangan iman secara keseluruhan, dan  menyerah pada kemungkaran karena ia adalah suatu kenyataan pahit, dimana ia tidak mampu melawannya, dan menerimanya karena tekanannya kuat sekali, maka ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang mukmin yang hidup dalam masyarakat muslim, kalau tidak maka ia dan masyarakatnya berhak mendapat laknya yang menimpa bani israil, karena mereka tunduk kepada kemungkaran dan ridha padanya, dan mereka tidak mencegahnya, sebagaimana firman Allah : Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al Maidah: 78, 79)

Saturday, July 16, 2016

Masyarakat Muslim yang Merdeka

Masyarakat Muslim yang Merdeka
Masyarakat muslim menyambut kemerdekaan
Manusia tidak mengenal suatu masyarakat yang menyambut kemerdekaan seperti masyarakat muslim yang menerapkan syari'at islam dalam kehidupan menyambutnya. Dan manusia tidak mengenal kemerdekaan dengan maknanya yang paling dalam seperti yang dikenal oleh manusia muslim yang mengerti petunjuk agamanya.

Hal ini karena Islam yang membentuk kepribadian manusia muslim, dan membangun masyarakat muslim, telah menentukan arti kemerdekaan, membuat aturan dan ukuran yang menjadikannya suatu kemerdekaan yang layak bagi manusia yang dimuliakan oleh Allah, dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi, untuk memakmurkannya dengan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia. Islam telah memberikan kemerdekaan kepada manusia yang menghargai kepribadiannya yang seimbang, memelihara haknya secara syar'I, dan memberikan kesempatan padanya untuk melakukan semua yang bermanfaat tanpa batasan dan rintangan.

Arti kemerdekaan dalam Islam
Kemerdekaan dalam Islam mencakup seluruh segi kehidupan: agama, politik, pemikiran, sipil, masyarakat dan kepribadian, dan berbagai macam model kemerdekaan lainnya, dengan syarat ia muncul dari akal manusia, bukan dari hawa nafsu, dan menggunakannya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan masyarakatmya, tidak bertentangan dengan kemaslahatannya atau merugikan orang lain. Kebebasan bukan berarti mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya, memuaskan keinginannya, atau menyebarkan keraguan dan mengacaukan pemikiran, menginjak-injak kesucian, membangkitkan fitnah dan menyerang orang lain; kebebasan mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar oleh manusia yang berakal; karena dengan demikian ia mengganggu kebebasan orang lain, dan kebebasan seseorang selalu berhenti di permulaan kebabasan orang lain.

Dalam masyarakat muslim, kebebasan bukanlah merongrong akidah islam dan prinsip-prinsip dasar agama yang telah diketahui secara baik oleh setiap muslim; sebab Negara dimana masyarakat muslim tegak, konsisten dengan akidah dan peraturan, akidah adalah dasar yang di atasnya dibangun masyarakat dan Negara, akidah ini berdiri atas keimanan kepada Allah, tunduk dan patuh padanya, mengikuti syari'atnya melalui kenabian dan kerasulan, dimana yang terakhir adalah islam, oleh karena itu ikatan akidah merupakan ikatan masyarakat yang paling tinggi, dan di atasnya berdiri kesatuan masyarakat, bukan berdasarkan kepentingan, bukan kesatuan keturunan, kewarga negaraan, dan nasionalisme. Dalam negara Islam dan masyarakat muslim akidah merupakan peraturan umum yang dihormati semua umat, bangsa dan masyarakat, maka tidak boleh bagi siapapun merongrong, menyerang atau melawannya; karena hal ini merupakan perusakan terhadap aturan masyarakat dan Negara, dan ini tidak boleh dilakukan atas nama kebebasan.

Dalam negara Islam merusak akidah Islam atau menentangnya berarti mengajak untuk meruntuhkannya; karena akidah adalah dasar bangunannya, dan penentangan yang terang-terangan dinamakan murtad, dan hukuman bagi orang murtad adalah hukuman bagi setiap yang mengajak untuk menghancurkan dasar Negara dan memberontaknya, yaitu dibunuh. Adapun jika orang murtad hanya sebatas keyakinan dalam dirinya tanpa disampaikan kepada orang lain, maka hukuman itu tidak dilakukan, karena negera islam tidak menghukum keyakinan orang, akan tetapi mempersoalkan yang nampak dan perbuatan yang menyebabkan fitnah dan merusak bangunan masyarakat.

Dalam masyarakat muslim kebebasan juga bukan berarti mengajak kepada akidah pemikiran yang bertentangan dengan akidah islam dari segi prinsip; karena ia berarti penentangan terhadap akidah islam, dan ajakan untuk menyingkirkan hukum yang diturunkan oleh Allah, berikutnya adalah menentang dasar Negara secara umum. Dikecualikan dari kaidah umum ini adalah kepercayaan terhadap agama-agama samawi, yaitu ahli kitab, seperti Yahudi, nasrani dan yang semisalnya, mereka dibolehkan tetap dalam akidah mereka, dan berhak mengumumkannya dalam batas lingkungan yang khusus bagi mereka dan di rumah ibadah mereka, hal ini karena pada dasarnya agama-agama ini ada kesamaan dengan Islam dalam hal dasar-dasar keimanan kepada Allah, hari akhir dan kenabian. Tidak ada seorang pun dari mereka yang dipaksa masuk Islam karena Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) dalam masyarakat muslim dan Negara Islam. Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama dan akidahnya, dan pilihan ini mempunyai nilai dan tanggung jawab, karena manusia walaupun anak kecil tidak boleh dihapus kepribadiannya, atau dirampas kebebasannya, atau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinannya, oleh karena itu islam mengharamkan memaksa orang mengikutinya, walaupun ia adalah kebenran yang tidak diragukan lagi; Karena pemaksaan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan manusia dan kehormatannya, disamping tidak ada gunanya orang mengikuti dengan terpaksa. Islam sangat menghormati manusia, sangat menghormati kebebasan dan harga dirinya, dan mempunyai pandangan yang agung terhadap kemanusiaan.

Dengan pemahaman yang jelas ini tentang kemerdekaan, maka dalam masyarakat muslim manusia mempunyai kebebasan, ia bisa menggunakan kebebasannya yang dibolehkan dalam segala aspek kehidupannya. Aspek kebebasan dalam masyarakat muslim Dalam masyarakat muslim manusia boleh mengungkapkan pemikiran yang membangun yang timbul dalam hatinya, dengan media massa yang mana saja baik cetak maupun elektronik. Ia berhak mengkritik kondisi yang tidak baik dan tidak benar, selama dalam mengkritik berpijak pada kebenaran dan disertai bukti-bukti nyata, termasuk di dalamnya amar ma'ruf dan nahi mungkar, ini diperintah baik bagi laki-laki maupun wanita, sebagaimana firman Allah : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, (QS. at Taubah: 71)

Ia bebas berkumpul dengan orang lain untuk membentuk opini, yasayan atau badan yang berdiri di atas pemikiran yang benar, dengan dasar menghormati akidah umat dan manhaj hidupnya, ini termasuk saling tolong menolong yang dianjurkan oleh al-Qur'an Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al Maidah: 2)

Ia bebas memilih pekerjaan dan mata pencaharian untuk mencukupi dirinya dan keluarga yang ada di bawah tanggung jawabnya, tidak boleh disempitkan kesempatannya untuk mencari rezeki dari pekerjaan yang ia miliki, atau dipaksa mengerjakan sesuatu yang bukan bidangnya. Ia mempunyai kebebasan yang utuh di tempat tinggalnya, tidak boleh bagi siapapun masuk rumahnya tanpa izinnya, atau memata-matainya, atau mencari-cari kesalahannya, atau menginjak-injak kehormatannya, seperti
agama, nyawa, badan, harga diri, keluarga dan hartanya.  Minoritas non muslim boleh hidup di dalam masyarakat muslim dengn bebas, memeluk agama yang diyakininya, dan melaksanakan ibadahnya, karena Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) Luasnya pemahaman kebebasan dalam masyarakat muslim Dalam masyarakat muslim arti kebebasan sangat luas, mencakup terlepasnya manusia dari semua tekanan dan paksaan, baik dari cengkraman penguasa zalim, atau kekuatan yang bisa mengekangnya, inilah yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada gubernurnya di mesir Amru bin Ash, karena putranya memukul orang mesir kopti: "sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka", inilah kata-kata yang terukir dalam sejarah, dan menjadi dasar bagi hak-hak asasi manusia, dikatakan bahwa Jean Jacques Rousseau mengutip kata-kata ini.

Ali bin Abi Thalib berwasiat kepada anaknya dengan wasiat yang pantas ditulis dengan tinta emas, yaitu perkataannya: "janganlah engkau menjadi hamba orang lain, karena Allah telah menjadikanmu merdeka". Permusuhan penguasa zalim terhadap kebebasan  Arti kebebasan ini adalah semakna dengan penghambaan kepada Allah;karena insan muslim tidak menjadi hamba kecuali bagi Allah, oleh karena itu ia tidak mengenal tuhan kecuali Allah, ketika manusia mengerti hakikat ini maka ia benar-benar merdeka; karena penghambaannya kepada Allah membebaskannya dari penghambaan kepada selain Allah. Tidak ada yang lebih membunuh kebebasan daripada menjadikan sebagian manusia tuhan bagi yang sebagian yang lain, dalam kondisi seperti  ini manusia tidak bisa mengembalikan kemerdekaannya dan kehormatannya kecuali jika mereka menghancurkan tuhan-tuhan palsu itu, terutama dalam diri orang-orang yang dianggap tuhan, padahal ia adalah manusia seperti mereka, tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kepada dirinya, tidak juga menghidupkan, mematikan dan membangkitkan. Tidak naik kekuasaan bagi para tiran kecuali kebebasan dipasung, dan tidak meningkat api kebebasan kecuali kursi para tiran runtuh. Semua agama samawi mengajak ummat mendongakkan kepalanya di hadapan paran tiran, tidak ada yang lebih menakutkan para tiran seperti ketakutan mereka apabila umat menerima agama langit, oleh karena itu  Fir'aun berkata kepada Musa : "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya[702], dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? (QS. Yunus: 78)

Kalau seandainya Nabi Musa menerima kesombongan Fir'aun dan keangkuhannya, niscaya Fir'aun menerimanya dan mengizinkan bagi rakyatnya melaksanakan kegiatan keagamaan yang diajak oleh Nabi Musa, selama hal ini tidak membahayakan kekuasaan dan kedudukannya. Oleh karena itu kisah fir'aun dan Nabi Musa disebutkan berulang kali dalam al- Qur'an, dan pengulangan ini mempunyai makna yang besar, yaitu yang hak tidak bisa berdampingan dengan kebatilan, dan bahwasanya penguasa tirani tidak bisa bersabar atas kebenaran yang bergerak; karena ia tahu bahwa  kebenaran akan mengalahkannya. Orang-orang musyrik arab telah memahami hakikat ini sejak mereka mendengar Rasulullah mengajak mereka dengan terang-terangan agar berikrar bahwa " tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah", mereka yakin bahwa di belakang kalimat tauhid ini terkandung erubahan yang menyeluruh dalam kehidupan bangsa arab, dimana ia menjadikan kedaulatan bagi Allah, dan tidak bisa mencapai kepada kedudukan tertinggi kecuali yang melaksanakan syari'at Allah, oleh karena itu mereka menentang dakwah baru ini, mereka menyiksa siapa saja yang beriman dan mau mengikuti panggilan dakwah ini, terutama orang-orang miskin dan lemah.

Maka diperlukan hijrah ke suatu negeri dimana orang-orang lemah itu  mendapat kebebsannya, mereka bisa bergerak dengan dakwahnya, jauh dari cengkraman orang-orang musyrik qurais, pertama kali hijrah ke habasyah, kemudian ke madinah, dan di sanalah umat islam menetap dan nabi mendirikan Negara islam. Sejak hari itu tumbuhlah masyarakat kebebasan yang menjaga kebebasan individu dan memeliharanya, menghormati perasaan umat dan pendapat mereka, seseorang tidak memikul kesalahan orang lain, dan tidak ada yang dijatuhi hukuman kecuali penjahat yang berhak mendapatkan hukuman, seseorang tidak bertanggung jawab atas kesalahan orang lain seperti yang dilakukan para penguasa di masa kini, dimana kekejaman dan hukumannya meluas kepada semua yang ada kaitannya dengan pelaku kejahatan baik sebagai teman, kerabat atau hubungan nasab.

Friday, July 15, 2016

Renungan seputar hari Asy-syuro

Renungan sepytar hari Asy-syuro
|Chanel Islamku|
Pada hari-hari ini umat Islam melewati kejadian besar yang berelevansi (berkaitan) dengan umat terdahulu yaitu hari Asyuro. Dengan senang hati dalam kesempatan singkat ini akan saya utarakan perkara-perkara yang saya pandangan penting, yang saya ambil dari sunnah Nabi terkait hari Asyuro ini. Hari Asyuro adalah kejadian bersejarah sepanjang perjalanan ummat manusia. Yang porosnya adalah peperangan antara keimanan dan kekafiran. Karenanya, ummat jahiliahpun memuasainya. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Aisyah –semoga Allah meridhoinya bahwa  bangsa Quraisy dahulu memuasai hari Asyuro di masa jahiliah."

Hari Asyuro mengikat sebagian ahli iman dengan sebagian yang lain. Sekalipun berbeda bangsa, bahasa dan zaman. Mulanya adalah ikatan iman antara Nabi Musa dan orang-orang beriman yang ada
bersamanya, kemudian meluas kepada siapa saja yang menyertai mereka dalam keimanan itu. Mendidik hati-hati kaum mukminin akan kecintaan dan kegelisaahan yang sama diantara mereka. Dengan memuasainya, manusia menjadi ingat kejadian bersejarah yang terjadi pada saudara-saudaranya sekeyakinan bersama Musa –alaihi salam- dahulu, bagaimana pelarian dan penderitaan mereka akibat penyiksaan yang diperbuat ahli kufur.

Hari Asyuro menunjukkan bahwa sebagian nabi memiliki keutamaan yang lebih dibanding sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat: "Aku lebih berhak (meneladani) Musa daripada kalian." Loyalitas ini karena kesamaan keyakinan dan risalah (penugasan). Puasa Asyuro menunjukkan bahwa umat ini lebih berhak terhadap nabi-nabi dari umat terdahulu daripada kaumnya sendiri yang mendustakan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat hadits Nabi di dalam as Shahihain yang mengatakan: "Kalian lebih berhak kepada Musa daripada mereka." Ini adalah diantara kelebihan ummat Muhammad di sisi Allah. Mereka nantinya akan menjadi saksi atas para nabi bahwa nabi-nabi itu telah penyampaikan agama (yang diembankan) pada hari kiamat. ?. Hari Asyuro mendidik muslim atas persaudaraan di atas agama semata, karena itulah Nabi bersabda, "Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka." Yang demikian tidak lain karena ikatan agama di antara kita; jika tidak, tentu Bani Israil lebih dekat kepada Musa –alaihi salam- dari sisi nasab (keturunan). 

Hari Asyuro mengingatkan penduduk bumi secara umum akan pertolongan Allah kepada para walinya. Hal ini memperbaharui dalam hati pencarian akan pertolongan Allah dan sebab-sebabnya disetiap tahun.

A. Hari Asyuro mengingatkan penduduk bumi secara umum akan kekalahan yang Allah berikan kepada musuh-musuh-Nya. Hal ini memperbaharui dalam hati harapan dan membangkitkan optimisme.

B. Hari Asyuro adalah bukti atas beragamnya pertolongan Allah kepada kaum muslimin. Bentuk pertolongan Allah tidak musti kekalahan musuh (dalam perang) dan perolehan ghanimah (harta rampasan perang). Tetapi terkadang pertolongan bentuknya kebinasaan musuh dan menyelamatkan kaum muslimin dari keburukan musuhnya, sebagaimana yang terjadi pada Musa –alaihi salam- dan sebagaimana yang terjadi pada Nabi pada perang Khandak. . Hari Asyuro menekankan lagi kewajiban menyelisihi petunjuk orangorang musyrikin, hingga dalam urusan ibadah. Penyelisihan itu
ditunjukkan dengan:
a. Ketika dikatakan kepada Nabi :
b. Nabi memerintahkan untuk memuasai sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, dan disitu ada pembicaraan.
Siapa yang merenungkan hadits-hadits hari Asyuro akan jelas baginya bahwa asal penyelisihan kaum muslimin terhadap kaum musyrikin adalah sesuatu yang telah menghujam pada diri para sahabat Nabi. Hal itu dibuktikan bahwa ketika mereka mengetahui puasa ahlulkitab bersamaan dengan puasa mereka, serta-merta mereka bertanya kepada Rasulullah dengan mengatakan: "Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani memuasai hari ini!" Seolah mereka ingin mengatakan: "Wahai Rasulullah, Engkau mengajarkan kami menyelisihi kaum Yahudi dan Nasrani, sekarang mereka memuasainya, maka bagaimana kami menyelisihinya?"Hari Asyuro adalah bukti bahwa menjadikan suatu moment sebagai perayaan adalah kebiasaan sepesial kaum Yahudi sejak dahulu. Karenanya mereka menjadikan hari Asyuro sebagai hari raya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa –semoga Allah meridoinya-, dia berkata: "Dahulu penduduk Khaibar (Yahudi) memuasai Asyuro dan menjadikannya hari raya. Pada hari itu para wanita mengenakan perhiasan-perhiasan dan lencana mereka." [Hadits riwayat Muslim]
"Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani menjadikan Asyuro sebagai hari raya!" Nabi mengatakan, "Berpuasalah kalian pada hari itu."

Adapun ummat ini, telah Allah tetapkan bagi mereka dua 'Id (dua hari raya, Idul Fitri dan Idulu Adha) tanpa ada yang ketiga. Hari Asyuro adalah bukti dualisme dalam kehidupan kaum Yahudi dan Nasrani, dimana mereka konsisten memuasai Asyuro padahal tidak diwajibkan dalam agama mereka. Mereka hanyalah meniru Nabi Musa –alaihi salam-, sementara perkara yang paling penting yang berkaitan dengan pokok agama dan peribadatan kepada Allah mereka tinggalkan yaitu mengikuti Rasulullah .

Hari Asyuro adalah bukti bahwa kewajiban dalam syari'at tidak dapat disebandingkan keutamaan dan kedudukannya (dengan ibadah lainnya). Oleh karenanya, ketika Allah mensyari'atkan (mewajibkan)
ummat ini untuk berpuasa Ramadhan puasa Asyuru menjadi perkara yang dikembalikan kepada kehendak. Karenanya Nabi bersabda di dalam hadits Qudsi: "Tidaklah seorang hamba mendekat kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang telah aku wajibkan atasnya" [Mutafak alaih]

Hari Asyuro adalah bukti bahwa ibadah nawafil (sunnah) sebagiannya lebih tinggi derajatnya dibanding sebagian yang lain. Penjelasannya: bahwa orang yang puasa Arafah dihapus dosanya setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Sedangkan puasa Asyuro hanya dihapus dosanya setahun sebelumnya. Orang beriman senantiasa mengupayakan yang lebih utama dan sempurna. . Puasa Asyuro adalah bukti akan kemudahan agama. Hal ini sebagaiamana sabda Nabi , "Siapa berkehendak memuasainya silahkan memuasainya dan siapa yang berkehendak meninggalkannya silahkan meninggalkannya." [Mutafak alaih]

Puasa Asyuro adalah bukti atas keagungan Allah . Dimana Allah memberi balasan yang besar atas amal yang sedikit. Dosa (kecil) setahun penuh dihapuskan hanya dengan berpuasa satu hari.

A. Puasa Asyuro adalah bukti adanya naskh (penghapusan/pergatian hukum) dalam syari'at ummat Muhammad sebelum beliau wafat. Dimana pada mulanya puasa Asyuro diwajibkan kemudian diganti menjadi istihbab (disukai).

B. Penetapan adanya Nask (pergantian hukum) puasa Asyuro atau hukum yang lain adalah bukti hikmah Allah , dimana Dia menghapus dan menetapkan sehendak-Nya, mencipta dan memilih sekehendak- Nya.

Puasa Asyuro adalah bukti bahwa rasa syukur direalisasikan dengan perbuataan sebagaimana dilakukan juga dengan ucapan hingga pada ummat terdahulu. Nabi Musa –alaihi salam- memuasai hari Asyuro adalah sebagai bentuk syukurnya kepada Allah . Inilah manhaj (perilaku) para nabi. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Nabi Dawud –alaihi salam- dan ditutup oleh Nabi Muhammad yang senantiasa melakukan shalat malam. Ketika ditanya tentang shalat malamnya beliau menjawab, "Bukankah sudah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur." [Mutafakun alaihi]

Siapa yang merenungkan hadits-hadits yang ada, jelaslah baginya bahwa orang yang tidak memuasainya tidak diingkari. Dahulu Ibnu Umar tidak memuasainya kecuali jika bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukannya. [Riwayat al-Bukhari].

Puasa Asyuro merupakan pendidikan bagi manusia untuk berlombalomba dan bersaing dalam kebaikan. Setelah Nabi menjelaskan keutamaan Asyura, beliau mengembalikannya kepada kehendak pelakunya. Dengan demikian terlihatlah siapa yang berlomba memburu kebaikan dan yang tidak.

Puasa Asyuro mendidik manusia akan adanya perbedaan perbuatan (aktifitas) dengan tanpa mengingkari sebagian yang satu dengan sebagian yang lain, selama perkaranya memang terbuka untuk berbeda. Karenanya dahulu sebagian sahabat memuasainya dan sebagian lagi tidak. Meskipun demikian tidak ada berita yang dinukilkan bahwa mereka saling menyalahkan atau menuduh (yang tidak melakukannya) lemah iman dan lain sebagainya.

Puasa Asyuro adalah bukti bersegera dalam menyambut perintah Allah dan Rasul-Nya. Diriwayatkan dalam as-Shahihain dari hadits Salamah , bahwa Nabi mengutus seorang lelaki untuk mengumumkan kepada manusia akan masuknya hari Asyuro, bahwa 'siapa yang sedang makan boleh meneruskan atau menghentikannya lalu berpuasa, dan siapa yang belum makan maka janganlah dia makan.' Seruan itu disambut oleh para sahabat. Mereka tidak lagi bertanyatanya atau mendiskusikannya, tetapi bersegera melakukannya. Karena itu wajib bagi seorang muslim dalam lakunya mengejawantahkan perintah-perintah Allah.

Dahulu para sahabat Nabi mendidik anak-anak mereka yang belum balikh untuk memuasai hari Asyuro, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar-Robi' binti Ma'udz –semoga Allah meridhoinya-, dia berkata, "Kami memuasainya demikin pula anak-akan kecil kami." [Mutafak Alaihi].

Upaya para sabahat Nabi –semoga Allah meridhoi mereka semuadalam membiasakan anak-anak kecil mereka untuk berpuasa Asyuro adalah bukti bahwa seyogyanya syi'ar agama ditampakkan di tengah masyarakat, sekalipun kepada mereka yang belum terbebani melakukan kewajiban, agar terdidik untuk peduli dengan agama ini dan pemeluknya.

Pendidikan yang sungguh-sungguh agar kuat bertahan dan bersabar. Karenanya para sahabat Nabi membiasakan anak-anak kecil mereka untuk berpuasa hingga ar-Rabi' binti Ma'udz –semoga Allah
meridhoinya- berkata, "Jika salah seorang dari anak-anak yang berpuasa itu menangis karena lapar, kami beri dia mainan yang terbuat dari bulu." [Mutafak alaihi]

A. Hari Asyuro menunjukkan bahwa berita yang datang dari Ahlulkitab dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan syari'at kita. Hal itu ditunjukkan dari: hari Asyuro adalah hari dimana Nabi Musa (bersama pengikutnya) diselamatkan dari tenggelam di lautan, dan itu adalah berita ahlulkitab, meskipun Nabi bisa jadi diwahyukan akan kebenaran berita itu. Pada yang demikian itu termasuk keadilan walau dengan musuh sekalipun dan itu bukan suatu yang tersembunyi.

B. Kita lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada Ahlulkitab yang mendustakannya dari berbagai sisi: 
) Kita mepercayainya dan mengimaninya sekalipun belum pernah
melihatnya. Berbeda dengan kaumnya yang mendustakannya.
) Nabi Musa menyerukan tauhid (pengesaan Allah) sebagaimana yang diseru oleh Nabi kita . Bahkan tidak berbeda sedikitpun dari sisi ini.
) Kita mempersaksikan bahwa Nabi Musa telah menyampaikan agama Allah yang menjadi tanggung jawabnya dan telah menunaikan risalah kerasulannya.
) Kita tidak menyakitinya dengan celaan dan tuduhan. Berbeda dengan mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa aadar (berpenyakit kulit atau kelamin). Firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan." (QS.al-Ahzab)

Kita bersaksi bahwa jika Nabi Musa hidup di masa Nabi Muhammad , tidak ada pilihan baginya selain mengikuti Nabi Muhammad . ?) Kita mengimani dengan apa yang dibawa oleh Nabi Musa –alaihi salam- dalam perkara aqidah (keyakinan) sekalipun kita belum pernah membaca atau mengetahuinya. Kita bersaksi bahwa seluruh ummat Nabi Musa yang tidak mengikuti Nabi Muhammad , Nabi Musa berlepas diri darinya. 

A) Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan yang dibawa oleh Nabi Musa –alaihi salam- berasal dari sumber yang sama sebagaimana yang dikatakan oleh An-Najasyi (raja Ethopia). Inilah beberapa faidah dan renungan. Saya meminta kepada Allah semoga menjadikannya bermanfaat, dan senantiasa melindungi kita, menolong agama, al-Quran serta sunah nabi-Nya .

Thursday, July 14, 2016

Al-Jazari Sang Mekanik Terkemuka

Al-Jazari Sang Mekanik Terkemuka
Al-Jazari
Imajinasi manusia akan kehadiran robot ternyata bukan ilusi belaka. Namun, siapa sangka jika konsep dasar robot diletakkan oleh ilmuwan Muslim, yaitu Ibnu Ismail al-Jazari pada abad ke-13. Sumbangsih pemikiran tokoh kelahiran Diyar Bakir, Turki, pada 1136 ini telah mengubah lanskap teknologi beberapa abad kemudian. Ia bahkan dijuluki dengan Bapak Robot. Robot ciptaan al-Jazari beroperasi berkat bantuan tenaga air (hidrolik). Kelincahan robot besutan al-Jazari mampu mengibur tamu Kesultanan Turki dari Dinasti Artuqid dalam sebuah jamuan.

Sebagai seorang kepala insinyur kerajaan, Al-Jazari tak hanya mampu menciptakan robot pemain musik. Ia memelopori lahirnya sederet adikarya dalam bidang teknik dan teknologi. Berikut karya-karya al-Jazira yang banyak dirasakan manfaatnya pada pekembangan dan peradaban manusia di dunia.

Mesin Engkol
Mesin ini berhasil diciptakan al-Jazari pada 1206. Mesin ini merupakan bagian mesin yang terhubung dengan sistem roda atau batang yang mampu menggerakkan mobil dan motor. Penemuan ini dianggap sebagai pencapaian yang luar biasa. Pasalnya, engkol mesin merupakan peralatan mekanis yang penting setelah roda yang menghasilkan gerakan berputar terus-menerus.

Roda Gigi
Penemuan lain al-Jazari yang juga sampai sekarang dirasakan banyak manfaatnya oleh manusia di dunia, terutama pada dunia industri otomotif adalah roda gigi. Roda gigi salah satu jenis elemen transmisi paling penting pada suatu pemindahan gerak (terutama putaran). Penemuannya jauh mendahului jam astronomi Giovanni de Dondi pada 1364 dan karya Francesco de Giorgio pada 1501 dalam desain permesinan Eropa.

Mesin Pompa Air
Mesin pompa al-Jazari juga merupakan penemuan yang sangat bermanfaat pada zaman sekarang ini. Al-Jazari menemukan lima jenis mesin untuk memompa air, di antaranya, watermill dan water whell./ Dengan pompa air itu, keberadaan air di kedalaman berapa pun bisa disedot dengan mudah dan cepat tanpa memakan waktu dan tenaga. Bayangkan jika pompa air tidak ditemukan oleh sang ilmuwan yang mengabdi pada Dinasti Artuqid sejak 1174-1200 itu.

Wednesday, July 13, 2016

Hakikat Masyarakat Muslim (Wajib baca!!)

Hakikat Masyarakat Muslim (Wajib baca!!)
|Chanel Islamku|
Keistimewaan masyarakat muslim: Mayarakat muslim sebagaimana dijelaskan oleh Islam adalah  masyarakat yang istimewa, tidak seperti masyarakat-masyarakat yang dikenal oleh manusia sepanjang sejarah, hal ini karena dia adalah masyarakat yang dibentuk oleh syari'at Islam yang kekal, yang diturunkan oleh Allah dengan sempurna sejak hari pertama, dimana Allah berfirman dalam kitabNya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (TQS. Al Maidah: 3)

Tegak di atas pondasi syari'at Islam: Syari'at yang peruntukkan oleh Allah bagi hambaNya ini sempurna sejak berdirinya, dialah yang menegakkan masyarakat ini di atas dasar yang dikehendaki oleh Allah untuk hambaNya, bukan dasar yang dikehendaki oleh sebagian hamba untuk manusia. Dan di bawah naungan syari'at inilah tegaknya masyarakat ini, berbeda dengan sejarah berdirinya masyarakatmasyarakat barat, yang merupakan hasil pertikaian antara kasta dan pergesekan antara hubungan produksi dan cara-caranya yang selalu berubah, serta pertentangan antara kepentingan yang berlawanan atau pemikiran yang saling bertolak belakang.

Syari'at Islamlah yang mencetak masyarakat muslim, bukanlah masyarakat muslim yang membuat syari'at, syari'atlah yang meletakkan dasar-dasarnya, membentuk karekteristiknya, sendi-sendinya, dan normanorma serta budayanya. Syari'at ini tidak sekedar memenuhi tuntutan kebutuhan manusia, sebagaimana yang terjadi pada undang-undang buatan manusia, akan tetapi dia merupakan minhaj ilahi untuk seluruh manusia, yang mengatur segala hal di dalam kehidupan manusia dan masyarakat, menggariskan pola hubungan manusia yang hidup di dalam masyarakat dengan Tuhannya, dengan dirinya, keluarganya, kerabatnya, tetangganya, saudara-saudaranya, teman-temannya, dan seluruh anggota masyarakat pada umumnya.

Mengatur hubungan negara Islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang. Dari sinilah terbentuknya fiqih Islam yang mencakup masalah ibadah, mu'amalat, hubungan keluarga, jihad, perjanjian damai, halal dan haram, tuntunan-tuntunan dan etika. Tidak membiarkan sesuatu apapun dalam aspek kehidupan manusia kecuali telah diatur, mulai dari adab buang air bagi indifidu hingga mendirikan pemerintahan dan kepemimpinan tertinggi bagi umat.

Dari sisi inilah tampaknya keistimewaan masyarakat muslim dan perbedaannya dengan masyarakat lain; hal ini karena yang membuatnya, yang membangunnya lebih mengetahui apa yang menjadi kemaslahatan bagi manusia daripada para filosuf, para pemikir, para ilmuan sosial yang mengangkat diri mereka untuk meletakkan dasar bagi masyarakat manusia. Dan setaip kali zaman ini berkembang maju dan pengetahuan manusia semakin meningkat, manusia semakin mampu mengungkap inti nilai, norma, dan undang-undang yang lebih dulu dimiliki oleh masyarakat muslim di bawah naugan syari'at Islam.

Permanennya syari'at Islam
Walaupun kebutuhan manusia semakin berkembang, dan tuntutan kemajuan dan perkembangan menuntut untuk berijithad dalam membuat undang-undang dan peraturan-aturan yang lazim demi mengikuti gerak kehidupan yang terus maju, maka ijtihad tersebut tetap berakar pada pondasi yang permanent dan prinsip-prinsip yang bersifat pondamen yang dikehendaki oleh Allah bersifat kekal pada masyarakat muslim, sehingga tetap tampil beda dengan masyarakat lainnya. Dengan demikkian, syari'at berperan sebagai pagar penjaga yang memberi kesempatan bagi faktor-faktor pertumbuhan, pembaharuan dan kemajuan untuk mengambil perannnya dalam mempengaruhi masyarakat muslim, akan tetapi tetap dalam batas pagar penjaga ini, yang dengannya orisinalitas syari'ah terjaga, karekteristik masyarakat muslim terpelihara dan terlindungi dari proses melarut.

Mungkin ada yang bertanya: Apakah temasuk maslahat jika perkembangan masyarakat dan pertumbuhannya terpaku pada dasar yang permanent, sementara tuntutan dan interaksi dalam kehidupan semakin tumbuh berkembang dan bervariasi, dia menuntut adanya aturan-aturan dan perundang-undangan baru yang bisa memenuhi tuntutan kehidupan yang semakin tumbuh dan berkembang?

Jawaban atas pertanyaan ini membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang pondasi syari'ah yang permanen ini, dan jangkauan cakupannya bagi dasar-dasar kehidupan makro. Selain itu, dia menuntut perbandingan yang bersifat objektif dan detail antara sayri'ah yang permanen ini yang telah mencetak masyarakat muslim, dengan undang-undang selainnya yang berpengaruh bagi terbentuknya sebuah masyarakat hingga sekarang ini. Jika telah jelas bahwa syari'ah Islam yang bersifat permanen ini pada dasarnya dicanangkan untuk tetap berlaku secara permanen dan menerima pembaharuan, bahkan sejak lima belas abad yang silam dia masih tetap lebih utama dari semua perundang-undangan yang dikenal oleh manusia, maka dengan demikian, sifatnya yang permanen menjadi keistimewaan tersendiri dan jaminan yang membuatnya mampu untuk maju dan tetap bekembang; tidak kalah oleh hawa nafsu dan mengekor pada syahwat, serta sebagai perisai yang memeliharanya dari tunduk pada dorongan, penyelewengan dan kesesatan berkedok perkembangan dan pembaharuan.

Mampu eksis dan bekembang
Sesungguhnya perbandingan yang bersifat objektif dan detail dengan standar logika ilmiyah antara konsep sosial dalam masyarakat muslim dan konsep sosial yang lainnya menghadapkan kita pada satu hakikat besar, yaitu pondasi syari'at Islam yang bersifat permanen lebih elastis dan lebih mampu
memenuhi kebutuhan perkembangan dan pembaharuan dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan konsep-konsep baru yang dibuat oleh manusia, mereka menamakannya "kemajuan" padahal jika dihadapkan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang global dia akan tanpak konservatif, banyak pertentangan, kekurangan dan tidak sesuai dengan fitrah yang sehat. Syari'at Islam yang telah membangun masyarakat muslim bertopang pada beberapa karekteristik, yang menjadikan masyarakat muslim mampu berkembang dan maju, serta mampu memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang selalu berubah.

Di antara karekteristik yang terpenting adalah:
1. Dia datang sesuai dengan dasar-dasar fitrah manusia dan faktor-faktor yang mendukungnya. Hal ini, karena dia berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui tabi'at makhlukNya dan apa yang sesuai dengan tabi'at tersebut.
2. Dia datang dalam bentuk prinsip yang bersifat global dan umum, bisa diperluas dan dipraktekkan dalam realita yang selalu baru, dan keadaan yang berubah-ubah. Misalnya zakat, adalah kewajiban yang telah ditetapkan dan ditentukan, akan tetapi cara mengumpulkan, menghitung dan menyalurankannya bagi orang-orang yang berhak bisa berkembang sesuai dengan tuntutan zaman pada saat dikumpulkan dan bisa memenuhi kemaslahatan orang miskin. 

Komprehensif dan pelopor
Prinsip dasar yang bersifat umum dan global bagi syari'at Islam mencakup semua aspek pondamental kehidupan manusia dan segala sisinya yang beragam. Dia mencakup kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, hubungan antara seseorang dengan orang lain dan pondasi bagi bagi berdirinya sebuah negara, aturan-aturan dasar yang menyangkut masalah hubungan antar negara, dan syari'at dicanangkan untuk mengatur kehidupan sipil, politik, sosial dan ekonomi. Dia tidak membiarkan satu segmenpun dari sisi-sisi kehidupan manusia yang tidak diatur, dan aturan-aturan ini selalu mendahului apa yang telah dicapai oleh tori-teori perundang-perundangan yang telah dibuat oleh manusia. Dalam hal ini, kami cukup memaparkan satu contoh: Hukum waris dalam Islam yang dicanangkan oleh syari'at ini sejak lima belas abad yang silam, dia datang dengan atuaran yang sempurna, dan permanent dan komprehensif memberikan keadilan kepada semua yang berhak menerima warisan tersebut baik anak laki-laki, wanita, cucu laki-laki, wanita, isteri, suami, bapak, ibu, saudara laki-laki dan wanita, kakek, nenek dan semua kerabat. Dan kepeloporan syari'at Islam dalam masalah ini akan tanpak setelah kita mengetahui bahwa sampai akhir abad kesembilan belas undangundang di Inggris hanya memberikan warisan kepada anak laki-laki tertua saja, sementara bagian ahli waris lainnya diserahkan kepada anak tertua tersebut, jika dia mau memberi mereka maka mereka akan mendapataknnya namun jika dia enggan, maka mereka tidak mendapatkannya.

Di antara bukti keunggulan syari'at Islam dibandingkan peraturanperaturan yang dibuat oleh manusia, adalah apa yang dibawa oleh Islam berupa peraturan yang memberikan hak-hak yang sempurna kepada wanita, sebuah peristiwa yang paling pertama terjadi di dalam sejarah, Islam menjadikan wanita menikamati hak-haknya sebagai manusia beberapa abad sebelum dunia mengenal organisasi hak-hak asasi manusia. Sejak awal Islam telah mengumumkan bahwa wanita adalah saudara kandung laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ad Darimi dan Ahmad, pada saat aturan sosial dalam agama Kristen meragukan kemanusiaan wanita dan tabi'at ruhnya, al-Qur'an al Karim telah mengumumkan: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Nabi menyuruh para wanita berbai'at kepada Islam, dan mendengar serta ta'at, sebagaimana Rasulullah memerintahkan laki-laki berbai'at, dan bai'at para wanita terpisah dari bai'at laki-laki, tidak mengikuti ba'iat laki-laki.

Semua ini menegaskan kemandirian pribadi wanita muslimah dan kemampuanya memikul tanggung jawab dalam bai'at, perjanjian, dan memberikan loyalitas kepada Allah dan RasulNya. Dan semua ini terjadi pada  kurun ratusan abad sebelum dunia moderen mengakui hak-hak wanita untuk menyampaikan aspirasinya sendiri melalui angket dan pemilu. Semua ini, selain tambahan hak-hak lain yang lebih banyak seperti kemandiriannya dalam harta dan kepemilikannya, dan dia bebaskan dari kewajiban memberikan nafkah walaupun dia kaya, kesamaannya dengan laki-laki dalam kehormatan kemanusiaan, pendidikan, dan kewajiban-kewajiban keagamaan secara umum.

Sesungguhnya, keberhasilan Islam dalam memperbaiki martabat wanita sejak lima belas abad yang silam, secara sekaligus, tidak akan pernah bisa diwujudkan oleh seorangpun dalam sejarah, pada abad kedua puluh ini.  Cukup kita mengetahui bahwa revolusi Prancis ketika mengumumkan piagam hak-hak asasi manusia, di akhir abad ke delapan belas, mengumumkannya dengan judul ((Beberapa hak laki-laki). Disebutkan dalam pasal pertama dari piagam tersebut: "Kaum laki-laki dilahirkan dalam keadaan merdeka, dan tidak boleh diperbudak". Kemudian ada beberapa usaha untuk menambahkan kata ((dan wanita)). namun usaha-usaha tersebut menghadapi penolakan, sehingga pasal pertama dari pengumuman revolusi Prancis untuk kebebasan tetap dengan kalimat: ((Kaum laki-laki dilahirkan dalam keadaan merdeka, dan tidak boleh diperbudak)). Lalu satu abad setelah itu, datanglah seorang ilmuan besar berkebangsaan Prancis, bernama Gustave le Bon, tepatnya pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, di dalam bukunya (ruh al ijtima'. Terjemah: Semangat sosial) dia menegaskan: Kaum wanita tidak sama dengan laki-laki kecuali di zaman kemunduran. Hal ini sebagai bantahan terhadap orang yang menuntut persamaan hak antara wanita dengan lakilaki di dalam pemilihan umum, sebagai wujud mengikuti hak kaum laki-laki.

Kondisi ini tetap berjalan seperti semula sehingga muncul organisasi (Persatuan Bangsa-bangsa) setelah perang dunia pertama, kemudian (Perserikatan bangsa-bangsa) setelah perang dunia kedua, dan para aktifis hak-hak wanita tidak berhasil mencantumkan persamaan hak antara wanita dengan laki-laki kecuali setelah melalui usaha yang berat; karena mereka berhadapan dengan adat dan budaya yang diinspirasi oleh agama, yang membentur langkah mereka, sementara mereka tidak mempunyai perundang undangan dalam skala regional maupun internasional yang bersikap obyektif terhadap wanita, yang dapat dijadikan sebagai pijakan secara legal untuk mengatasi hambatan tersebut, dalam usaha membebaskan wanita dari masa kekelaman masa lampau yang gelap dan pekat. 
Sementara, pada saat yang sama, nash-nash di dalam syari'at Islam secara tegas menyebutkan di dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah , sejak lima belas abad yang silam, menyamakan antara laki-laki dan wanita dalam masalah pahala dan siksa, tanggung jawab dan balasan, serta ibadah dan kehormatan manusian dan hak-hak asasi manusia secara umum. Adapun tentang kondisi wanita di dalam undang-undang masayarakat terdahulu sangatlah buruk, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh berkebangsaan India (Jawahiral Nehru) dalam bukunya: (Iktisyaful Hind.Terjemah: Menemukan India), dia melihat bahwa kondisi wanita di masa India kuno lebih baik daripada apa yang terjadi di negeri Yunani kuno atau di Romawi kuno, atau di masa agama Kristen pertama. Dahulu para wanita kehilangan kepribadiannya, terhalang dari kebebasannya, tidak mendapat warisan, dan tidak menikmati hak-hak asasinya sebagaimana yang dinikmati oleh kaum laki-laki.

Kesempurnaan dan keunggulan syari'at Islam
Syari'at Islam dari sejak semula datang dalam keadaan sempurna dan maju, tidak pernah kurang lalu menjadi sempurna secara bertahap, dan tidak pernah terbelakang kemudian membenahi dirinya agar menjadi maju, dan dia senantiasa mampu untuk merealisasi kesempurnaan, kepeloporan dan keunggulannya pada saat diberi kesempatan untuk diterapkan dengan cara yang benar.

Maka dari itu marilah kita terapkan syariat islam secara kaffah, dalam bingkai sebuah negara daulah al- -khilafah ar-rasyidah 'ala minhajjin nubuwah.

Saturday, July 09, 2016

Inilah Hukum dari Qodho Puasa!!!

Inilah Hukum dari Qodho Puasa!!!
hal yang mewajibkan menqodho puasa
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Kuat lagi Maha Mengalahkan, Maha Suci untuk bisa didapatkan oleh suara hati dan mata telanjang. Menentukan setiap makhluk dengan tanda kefakiran. Menampakan bekas-bekas qudrat-Nya dengan pergantian malam dan siang. Mendengar ratapan orang sakit berat (menahun) yang mengadukan penderitaannya, melihat gerakan semut hitam di malam gelap gulita di atas gua, mengetahui isi hati yang tersembunyi dan rahasia yang tersimpan. Sifat-Nya sama seperti Dzat-Nya dan yang menyerupakan (dengan makhluk) adalah kafir. Kami mengakui sesuatu yang Dia sifatkan untuk Dzat-Nya menurut yang ada di dalam al-Qur`an dan hadits: Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?. (TQS. At-Taubah:109)

Aku memuji-Nya terhadap kesenangan dan kesusahan. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, sendirian menciptakan dan mengatur: Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. (TQS. al-Qashash:68)

Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang paling mulia dari para nabi yang suci. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi shalawat kepadanya, dan kepada Abu Bakar temannya di dalam gua, kepada Umar ra yang menekan orang-orang kafir, kepada Utsman ra yang shahid di dalam rumah, dan kepada Ali ra yang beribadah di waktu sahur, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, terutama kaum Muhajirin dan Anshar.

Saudara-saudaraku, kita telah membicarakan tentang tujuh golongan manusia dalam puasa dan ini adalah sisanya: Bagian Ke Delapan, wanita haid, ia haram puasa dan haram hukumnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita: "Aku tidak melihat dari wanita yang kurang akal dan agama lebih baik bagi akal laki-laki yang kuat dari salah seorang darimu.' Kami bertanya, 'Apakah kekurangan akal dan agama kami, wahai Rasulullah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Bukanlah persaksian wanita sama seperti setengah persaksian laki-laki? Kami menjawab: 'Bahkan.' Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Itulah kekurangan akalnya. Bukankah apabila wanita sedang haid ia tidak shalat dan tidak puasa? Kami menjawab: 'Bahkan.' Beliau bersabda: 'Itulah kekurangan agamanya."Muttafaqun ‘alaih)

Haid adalah darah biasa yang keluar di hari-hari tertentu. Dan apabila nampak haid darinya, sedangkan ia puasa, sekalipun sebelum maghrib beberapa saat niscaya puasanya batal dan ia wajib mengqadhanya kecuali ia sedang puasa sunnah maka mengqadhanya sunnah, tidak wajib. Apabila ia suci dari haid di siang hari bulan Ramadhan, tidak sah puasanya di hari yang tersisa karena ia telah berbuka di permulaan siang. Apakah ia wajib menahan diri dari makan dan minum di waktu yang tersisa? Para ulama berbeda pendapat tentang hal itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam masalah musafir yang datang di siang hari. Apabila ia suci di malam hari bulan Ramadhan, sekalipun hanya sebentar niscaya ia wajib puasa karena ia adalah orang yang wajib puasa dan tidak ada yang menghalanginya berbuka maka ia harus puasa, dan puasanya sah pada saat itu sekalipun ia belum mandi kecuali setelah terbit fajar, seperti orang yang junub apabila ia puasa dan belum mandi kecuali setelah terbut fajar, maka puasanya sah berdasarkan riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha: 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam junub di pagi hari (setelah terbit fajar) karena jima', kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa
Ramadhan."Muttaaqun ‘alaih)

Wanita nifas sama seperti wanita haid dalam semua masalah di atas. Keduanya wajib mengqadha sejumlah puasa yang dia tinggalkan berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.. (QS. al- Baqarah:185)
dan Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya: "Kenapa wanita haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat? Ia menjawab: 'Kami mengalami hal itu, maka kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh mengqadha shalat.")  (3) HR. Muslim 335, at-Tirmidzi 130, an-Nasa`i 2318, Abu Daud 262, Ibnu Majah 631, Ahmad 6/232, ad-Darimi 986. 

Bagian ke Sembilan, Apabila wanita sedang menyusui atau hamil dan merasa khawatir terhadap dirinya atau anaknya kalau berpuasa, maka ia boleh berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik al-Ka'by radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan (meringankan) dari musafir setengah shalat, dan (meringankan) puasa dari musafir, hamil dan menyusui."HR Imam yang lima dan ini adalah lafazh Ibnu Majah.)((4) HR. At-Tirmidzi 715, an-Nasa`i 2275, Abu Daud 2408, Ibnu Majah 1667, Ahmad 4/347, ad-Darimi 1713) Dan ia wajib mengqadha sejumlah hari yang dia tidak puasa apabila ia sudah bisa melakukannya.

Bagian Ke Sepuluh, Orang yang perlu berbuka untuk menolak bahaya kepada orang lain, seperti menyelamatkan orang yang dipelihara: manusia yang haram dibunuh, dari tenggelam, atau kebakaran atau keruntuhan atau semisalnya. Apabila tidak bisa menolongnya kecuali dengan menguatkan fisik dengan makan dan minum niscaya ia boleh berbuka. Bahkan, saat itu ia harus berbuka karena menyelamat yang ma'shum (yang dilindungi, dijaga darahnya) dari kebinasaan adalah wajib, dan sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya maka hukumnya wajib dan ia wajib mengqadha sejumlah hari yang dia berbuka.
 
Dan contohnya adalah seperti orang yang perlu berbuka supaya kuat berjihad fi sabilillah dalam memerangi musuh, maka ia boleh berbuka dan mengqadha sejumlah hari yang dia berbuka. Sama saja saat safar atau di dalam negerinya apabila musuh datang menyerang, karena hal itu termasuk mempertahankan kaum muslimin dan meninggikan kalimah Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, 'Kami melakukan safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Makkah dan kami puasa, lalu kami singgah di satu tempat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya kamu sudah mendekati musuh dan berbuka lebih kuat bagimu.' Maka ia menjadi rukhshah (keringanan), maka dari kami ada yang puasa dan ada yang berbuka. Kamudian kami singgah lagi di satu tempat yang lain, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya kamu menghadapi musuh di pagi hari dan berbuka lebih kuat bagimu, maka berbukalah."( Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi 'azimah (perintah yang kuat), maka kami berbuka." ( HR.Muslim 1120 dan Abu Daud 2406)
 
Dalam hadits ini menjadi isyarat kuat bahwa berjihad merupakan sebab tersendiri selain safar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa penyebab berbuka adalah supaya kuat berjuang melawan musuh, bukan safar, karena itulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mereka berbuka di tempat persinggahan yang pertama.

Dan semua yang boleh berbuka karena sebab yang telah disebutkan, maka sesungguhnya tidak boleh diingkari bila ia berbuka secara terang-terangan, apabila penyebabnya jelas seperti sakit dan orang tua yang tidak mampu berpuasa. Adapun jika penyebab bukanya samar (tidak jelas, tidak nyata) seperti wanita haidh dan yang menyelamatkan orang lain dari kebinasaan maka ia berbuka secara rahasia dan tidak terang-terangan agar tidak menyeret tuduhan kepada dirinya, dan supaya orang bodoh tidak terperdaya maka ia mengira bahwa berbuka hukumnya boleh tanpa uzur.
Dan semua orang yang wajib mengqadha di bagian sebelumnya maka ia mengqadha sejumlah hari yang ia berbuka, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: ...maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.. (TQS. al-Baqarah:185)
Jika ia berbuka sebulan penuh, ia wajib mengqadha semuanya. Jika bulan genap tiga puluh hari, ia harus membayar tiga puluh hari, dan jika dua puluh sembilan, ia harus membayar dua puluh sembilan hari saja. Yang utama adalah segera mengqadha saat sudah tidak ada lagi halangan, karena ia lebih segera kepada kebaikan dan membebaskan jaminan.

Boleh menundanya hingga di antaranya dan Ramadhan kedua masih ada sejumlah hari yang wajib di qadhanya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (TQS. al-Baqarah:185)

Dan termasuk kesempurnaan kemudahan adalah boleh menunda mengqadhanya. Apabila ia punya kewajiban sepuluh hari dari bulan Ramadhan, ia boleh menundanya hingga di antaranya dan Ramadhan berikutnya tersisa sepuluh hari.

Tidak boleh menunda qadha hingga Ramadhan kedua tanpa uzur, berdasarkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anhu, 'Aku punya kewajiban puasa Ramadhan, maka aku tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Sya'ban. Karena menundanya hingga Ramadhan kedua menyebabkan menumpuknya kewajiban puasa, bisa jadi ia tidak mampu lagi atau meninggal. Dan karena puasa merupakan ibadah yang berulang-ulang, maka tidak boleh menunda yang pertama hingga waktu yang kedua, seperti shalat. Jika halangannya terus berlangsung hingga ia wafat maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepadanya mengqadha beberapa hari yang lain dan ia tidak bisa melakukannya, maka gugurlah kewajiban itu darinya, seperti orang yang wafat sebelum masuk bulan Ramadhan, ia tidak wajib melaksanakannya. Jika ia bisa melakukannya, lalu ia lalai darinya hingga meninggal dunia, maka walinya wajib mengqadha untuknya sejumlah hari yang ia lalai darinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia punya kewajiban puasa, niscaya walinya berpuasa menggantikannya.

Walinya adalah ahli warisnya atau karib kerabatnya. Dan jamaah (orang banyak) boleh mengqadha puasanya sejumlah hari yang dia tinggalkan dalam satu hari. Al-Bukhari rahimahullah berkata, al-Hasan rahimahullah berkata: 'Jika tiga puluh orang mengqadha puasanya dalam satu hari hukumnya boleh.' Jika ia tidak mempunyai wali atau ia mempunyai wali yang tidak ingin puasa menggantikannya, niscaya diberikan makanan dari peninggalannya, satu hari untuk satu orang miskin sejumlah hari yang ia harus mengqadhanya. Setiap orang miskin satu mud burr (gandum), dan timbangannya dengan gandum yang baik adalah (1/2 kg. 10 gr.) setengah kg. + sepuluh gr. Saudaraku, inilah bagian manusia dalam hukum-hukum puasa, Allah subhanahu wa ta’ala mensyari'atkan padanya bagi setiap bagian yang sesuai kondisi dan tempat, maka kenalilah hikmah Rabb-mu dalam syari'at ini, syukurilah nikmat-Nya kepadamu dalam kemudahan-Nya, dan mintalah keteguhan dalam agama ini hingga wafat.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang menghalangi kami berzikir kepada-Mu. Maafkanlah kekurangan kami dalam taat dan syukur kepada-Mu. Berikanlah kami cahaya petunjuk kepada-Mu. Ya Allah, berikanlah kami kenikmatan munajat kepada-Mu. Mudahkanlah kami menempah jalan ridha-Mu. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kesalahan kami, sadarkanlah kami dari kealfaan, dan perbaikilah tujuan kami dengan kemulian-Mu. Ya Allah, giringlah kami dalam golongan orang-orang yang bertaqwa dan hubungkanlah kami dengan hamba-hamba-Mu yang shalih. Semoga rahmat dan kesejahteran Allah subhanahu wa ta’ala selalu tercurah kepada kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya

Friday, July 01, 2016

Amalan Setelah Bulan Ramadhan

Amalan Setelah Bulan Ramadhan
Amalan di bulan syawal
Belum lama berlalu, kaum muslimin berada di bulan yang penuh barakah. Bulan yang kaum muslimin berpuasa di siang harinya dan shalat tarawih di malam harinya. Bulan yang kaum muslimin
mengisinya dengan berbagai amal ketaatan. Kini bulan itu telah berlalu. Dan akan menjadi saksi di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang di bulan tersebut. Baik yang berupa amalan ketaatan maupun perbuatan maksiat. Maka sekarang tidak ada lagi yang tersisa dari bulan tersebut kecuali apa yang telah disimpan pada catatan amalan yang akan diperlihatkan pada hari akhir nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati (pada catatan amalan) segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (TQSAli ‘Imran: 30)

Ibarat seorang pedagang yang baru selesai dari perniagaannya, tentu dia akan menghitung berapa keuntungan atau kerugiannya. Begitu pula yang semestinya dilakukan oleh orang yang beriman dengan hari akhir ketika keluar dari bulan Ramadhan. Bulan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji akan mengampuni dosa-dosa yang telah lalu bagi orang yang berpuasa dan shalat tarawih karena iman dan mengharapkan balasan dari-Nya. Dan pada bulan tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala bebaskan orang-orang yang berhak mendapatkan siksa neraka sehingga benar-benar bebas darinya. Yaitu bagi mereka yang memanfaatkan bulan tersebut untuk bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang sebenar-benarnya. Saudara-saudaraku seiman yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Oleh karena itu, orang yang mau berpikir tentu akan melihat pada dirinya. Apa yang telah dilakukan selama bulan Ramadhan? Sudahkah dia memanfaatkannya untuk bertaubat dengan sebenarbenarnya? Ataukah kemaksiatan yang dilakukan sebelum Ramadhan masih berlanjut meskipun bertemu dengan bulan yang penuh ampunan tersebut? Jika demikian halnya, dia terancam dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan rugilah orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan namun belum mendapatkan ampunan ketika berpisah dengannya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan gharib)

Namun demikian bukan berarti sudah tidak ada lagi kesempatan bagi dirinya untuk memperbaiki diri. Karena kesempatan bertaubat tidaklah hanya di bulan Ramadhan. Bahkan selama ajal belum sampai ke tenggorokan, kesempatan masih terbuka lebar. Meskipun bukan berarti pula seseorang boleh menunda-nundanya. Bahkan semestinya dia segera melakukannya. Karena kematian bisa datang dengan tiba-tiba dalam waktu yang tidak disangka-sangka. Dan seandainya seseorang mengetahui kapan datangnya kematian, maka harus dipahami pula bahwa taubat adalah pertolongan dan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga tidak bisa seseorang memastikan bahwa dirinya pasti akan bertaubat sebelum ajal mendatanginya. Bahkan Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, pada akhir hayatnya tidak bisa bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal yang mengingatkannya adalah orang terbaik dari kalangan manusia, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan taufiq dan pertolongan-Nya, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu memberikannya. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap orang segera bertaubat dari seluruh dosanya. Sehingga dia akan mendapat ampunan dan menjadi orang yang tidak lagi memiliki dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah hanyalah akan menerima taubat bagi orangorang yang mengerjakan kejahatan karena ketidakhati-hatiannya dan kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang Allah terima taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan sehingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang Kami siapkan siksa yang pedih.” (TQS.An-Nisa`: 17-18)

Adapun orang yang telah memanfaatkan pertemuannya dengan Ramadhan untuk bertaubat dan mengisinya dengan berbagai amal shalih, maka seharusnya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon agar amalannya diterima serta memohon agar bisa istiqamah di atas amalan tersebut. Dan janganlah dirinya tertipu dengan banyaknya amalannya. Sehingga dia menyangka bahwa dirinya termasuk orang-orang yang paling baik dan paling hebat. Bahkan dia harus senantiasa memohon ampun dan beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seseorang tidak bisa memastikan apakah amalan yang sudah dia lakukan diterima atau tidak. Seandainya diterima pun, sesungguhnya belum bisa untuk membalas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah ia terima. Karena amalan yang dia lakukan benar-benar tidak bisa lepas dari pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka sudah sepantasnya bagi dirinya untuk senantiasa tawadhu’ dan tidak merasa paling baik. Bahkan semestinya dia memperbanyak menutup amalannya dengan beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena begitulah sifat-sifat orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang sudah beramal dengan sebaik-baiknya namun masih merasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kekurangan dirinya dalam beramal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (tidak akan diterima). (Mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (TQS. Al-Mu`minun: 60)

Ketahuilah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kita ibadahi di bulan Ramadhan adalah yang kita ibadahi pula di luar bulan tersebut. Begitu pula rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah terputus dan berhenti dengan berlalunya bulan Ramadhan. Maka doa yang senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala di bulan tersebut janganlah kemudian kita tinggalkan di bulan berikutnya. Begitu pula membaca Al-Qur`an yang senantiasa kita lakukan di bulan Ramadhan, janganlah kita tinggalkan setelah tetap kita lakukan meskipun di luar bulan tersebut. Karena masih sangat banyak puasa-puasa sunnah yang memiliki keutamaan yang besar bagi orang-orang yang menjalankannya. Begitu pula shalat malam, adalah amalan ibadah yang semestinya tidak berhenti dengan berlalunya bulan Ramadhan, meskipun dilakukan hanya dengan beberapa rakaat saja. Karena menjaganya adalah salah satu sifat wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: shalat malam) dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menginfakkan dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (TQS. As-Sajdah: 16)

Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah, Di antara tanda yang menunjukkan diterimanya amalan kita adalah berlanjutnya amalan tersebut pada waktu berikutnya. Karena amalan yang baik akan menarik amalan baik berikutnya. Maka marilah kita senantiasa menjaga amalan-amalan kita dan janganlah kita kembali kepada perbuatan maksiat setelah kita bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ingatlah wahai saudara-saudaraku, bahwa di depan kita ada timbangan amalan yang akan menimbang amalanamalan kita yang baik dan amalan kita yang jelek. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (TQS. Al-Mu`minun: 102-103)

Orang yang mengetahui betapa besarnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan betapa butuhnya dia terhadap rahmat tersebut tentu akan terus berusaha untuk beramal shalih sampai ajal mendatanginya, sekecil apapun bentuknya. Selama dirinya mampu untuk melakukannya, maka dia tidak akan meremehkannya. Sebagaimana perbuatan maksiat, maka diapun akan meninggalkannya dan tidak menyepelekannya, sekecil apapun bentuknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan kalian ucapkan dengan mulut-mulut kalian apa yang kalian tidak berilmu tentangnya dan kalian menganggapnya sebagai suatu yang sepele saja. Padahal hal itu di sisi Allah adalah sesuatu yang besar.” (TQS. An-Nur: 15)

Akhirnya kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima amalan-amalan kita dan memberikan kekuatan kepada kita agar senantiasa mampu untuk menjalankannya. Dan mudahmudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni seluruh kesalahan kita.

Marilah kita senantiasa menjaga ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan marilah kita senantiasa memikirkan betapa cepatnya berlalunya malam dan siang. Karena hal ini akan mengingatkan kita akan semakin dekatnya waktu perpindahan kita dari tempat beramal di alam dunia ini menuju saat pembalasan di akhirat nanti. Sehingga akan mendorong kita untuk segera memanfaatkan kesempatan yang ada untuk beramal shalih. Karena kesempatan hidup di dunia kalau tidak digunakan untuk ketaatan, maka kesempatan itu akan pergi dengan segera dan akan berakhir dengan penyesalan serta kerugian pada hari kiamat. Adapun apabila digunakan kesempatan hidup kita di dunia dengan ketaatan, niscaya akan kita rasakan hasilnya. Karena amal shalihlah sesungguhnya kekayaan yang akan kita bawa untuk hari akhir nanti. Adapun kekayaan yang berupa harta benda di dunia tidaklah bermanfaat kecuali kalau digunakan untuk beramal di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka apalah artinya kekayaan di dunia ini kalau akhirnya berujung dengan tidak memiliki apa-apa bahkan mendapat siksa di akhirat nanti. Sementara kalau kita gunakan kesempatan ini untuk beramal shalih maka kita akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir. Bahkan berlanjut dari mulai di dunia ataupun setelah kita berpindah ke alam kubur sampai ketika saat hari kebangkitan dan berikutnya akan mendapatkan kenikmatan yang selamanya di surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan dia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang sangat membahagiakan dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. An-Nahl: 97)

Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali lagi. Namun akan datang waktu-waktu berikutnya yang akan menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan kita. Maka bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Bahkan lebih berharga dari harta yang dimilikinya. Karena harta apabila hilang dari dirinya maka masih ada kesempatan untuk dicari. Adapun waktu apabila telah berlalu maka tidak akan bisa untuk didapatkan lagi. Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan kesempatan hidup yang sangat sebentar ini dengan sebaik-baiknya. Janganlah amalan yang telah kita bangun pada bulan-bulan yang lalu kemudian kita robohkan lagi pada bulan berikutnya. Bahkan semestinya kita kokohkan dengan melanjutkan amalan tersebut pada bulan-bulan berikutnya. Dan janganlah kita mendekati setan setelah kita menjauhinya pada bulan Ramadhan yang lalu. Di antara amal shalih yang sangat besar keutamaannya untuk dilakukan setelah bulan Ramadhan, yaitu pada bulan Syawwal, adalah puasa sunnah selama enam hari pada bulan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadhan dan kemudian dia mengikutkannya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka dia seperti orang yang berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim) Hadits ini menunjukkan betapa besarnya rahmat dan kebaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Yaitu barangsiapa yang puasa selama enam hari baik secara berurutan ataupun berselang-seling, mulai hari kedua di bulan Syawwal, maka dia akan mendapat pahala orang yang puasa selama satu tahun. Tentu saja ini adalah keutamaan yang tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap muslim. Maka dia akan segera menunaikannya. Karena semakin cepat dilakukan maka akan semakin baik. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan.” (TQS. Al-Baqarah: 148)

Namun keutamaan ini didapat bagi orang yang melakukannya setelah dia selesai menjalankan puasa Ramadhan baik dilakukan pada waktunya maupun di luar waktunya bagi yang memiliki hutang puasa. Untuk itu, semestinya orang yang memiliki hutang puasa segera membayarnya setelah hari raya Idul Fithri. Kemudian segera mengikutinya dengan puasa selama enam hari pada bulan tersebut.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu mendapatkan curahan rahmat- Nya.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Facebook